Table of Content

Terdiagnosa ADHD di Usia 33 Tahun

di usia 33 tahun, aku tiba-tiba dapat diagnosis ADHD. Rasanya kayak disambar petir di siang bolong! Gak pernah kepikiran sebelumnya
Terdiagnosa ADHD di Usia 33 Tahun

Awal Mula: Ketika Diagnosis Datang Tanpa Diduga

Jadi, bayangkan deh, di usia 33 tahun, aku tiba-tiba dapat diagnosis ADHD. Rasanya kayak disambar petir di siang bolong! Gak pernah kepikiran sebelumnya kalau aku bakal terdiagnosa dengan sesuatu yang sering dianggap masalah anak-anak. Selama bertahun-tahun, aku ngerasa ada yang aneh dengan diri aku, tapi aku gak tahu apa itu. Sering banget merasa bingung, susah fokus, dan selalu ngerasa ketinggalan. Nah, di artikel ini, aku mau cerita tentang perjalanan aku, dari yang awalnya bingung sampai akhirnya bisa memahami diri sendiri. Semoga bisa kasih wawasan dan harapan buat kalian yang mungkin ngerasain hal yang sama.

Ketika aku pertama kali mendengar tentang ADHD, aku pikir itu hanya masalah yang dihadapi oleh anak-anak yang nakal atau hiperaktif. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa banyak orang dewasa juga mengalami hal yang sama, meskipun mereka mungkin tidak terdiagnosis. Ini membuatku merasa lebih terhubung dengan orang lain yang mungkin merasakan hal yang sama. Aku ingin berbagi cerita ini bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk orang lain yang mungkin merasa terasing atau bingung dengan pengalaman mereka. Dengan berbagi, aku berharap bisa menciptakan ruang untuk diskusi dan pemahaman yang lebih baik tentang ADHD, terutama di kalangan orang dewasa.

Mengurai Benang Kusut: Proses Diagnosis yang Mengubah Hidup

Proses diagnosis aku dimulai di kantor. Waktu itu, perusahaan ngadain tes psikologis buat karyawan. Tes ini tujuannya biar kita bisa lebih ngerti diri sendiri dan cara ningkatin kinerja. Aku ingat banget, saat itu aku cemas dan gak yakin bakal gimana. Setelah ngerjain serangkaian pertanyaan yang kayaknya gak ada habisnya, aku dipanggil untuk wawancara sama psikiater.

Wawancaranya seru, sih. Psikiaternya ramah banget dan bikin aku merasa nyaman. Tapi, pas dia mulai nanya-nanya tentang pengalaman hidup aku, aku ngerasa tegang. Dia nanya tentang cara aku ngatur waktu, interaksi sama orang lain, dan perasaan aku. Ketika dia bilang hasil tes menunjukkan aku punya ADHD, aku ngerasa campur aduk. Di satu sisi, ada rasa lega karena akhirnya ada penjelasan buat semua kesulitan yang aku alami. Tapi di sisi lain, aku bingung dan sedikit putus asa. Kok bisa ya, baru sekarang aku tahu?

Aku jadi inget masa kecil, di mana aku sering dianggap nakal atau gak disiplin. Guru-guru sering frustrasi karena aku susah duduk diam dan fokus. Rasanya kayak berjuang melawan arus, dan diagnosis ini seolah memberi nama untuk semua perjuangan aku. Namun, di balik rasa lega itu, ada juga rasa kehilangan. Kehilangan waktu yang terbuang, kesempatan untuk ngerti diri lebih awal, dan harapan untuk jadi "normal" kayak orang lain. Aku mulai merenungkan semua pengalaman itu, dan menyadari bahwa banyak dari kita yang mungkin mengalami hal yang sama, tetapi tidak pernah mendapatkan penjelasan yang tepat.

Mengenali Diri: Gejala yang Selama Ini Terabaikan

Setelah diagnosis, aku mulai merenung tentang gejala-gejala yang udah aku alami sepanjang hidup. Di sekolah, aku sering kesulitan fokus, sering melamun, dan kehilangan jejak. Di kantor, aku sering kewalahan dengan tugas-tugas yang kelihatannya sederhana. Aku mulai satu proyek, eh, tiba-tiba tergoda pindah ke proyek lain sebelum yang pertama selesai. Ini bikin frustrasi, baik buat aku maupun rekan kerja.

Salah satu gejala yang paling terasa adalah kesulitan ngatur waktu. Aku sering terlambat untuk pertemuan atau melewatkan tenggat waktu, dan itu bikin aku merasa gak kompeten. Dalam kehidupan pribadi, aku juga ngerasain dampak dari ADHD. Hubungan aku dengan teman-teman dan keluarga sering terpengaruh karena aku susah mendengarkan dengan penuh perhatian atau terlibat dalam percakapan yang dalam. Rasanya kayak aku selalu jadi penonton, nonton kehidupan orang lain, tapi gak bisa terlibat sepenuhnya.

Aku juga sering kesulitan ngatur emosi. Kadang, aku bisa sangat bersemangat dan energik, tapi di lain waktu, aku bisa merasa tertekan dan cemas. Perubahan suasana hati ini bikin aku merasa gak stabil dan susah menjalin hubungan yang sehat. Aku ingat satu kejadian di mana aku berdebat sama teman dekat hanya karena aku merasa gak didengarkan. Setelahnya, aku merasa sangat menyesal, tapi saat itu, aku gak bisa kontrol reaksi aku. Pengalaman-pengalaman ini membuatku menyadari bahwa ADHD bukan hanya tentang kesulitan fokus, tetapi juga tentang bagaimana kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.

Langkah Baru: Menemukan Pengobatan dan Harapan

Setelah diagnosis, aku mulai ikut program rehabilitasi yang ditawarkan perusahaan. Program ini meliputi terapi dan sesi konseling yang dirancang buat bantu aku ngelola gejala ADHD. Aku belajar teknik manajemen waktu yang lebih baik, cara ngatur prioritas, dan cara ngatasi perasaan cemas yang sering muncul.

Salah satu perubahan terbesar yang aku lakukan adalah mengadopsi gaya hidup yang lebih teratur. Aku mulai bikin jadwal harian dan menetapkan tujuan kecil yang bisa dicapai. Ini bikin aku merasa lebih terorganisir dan mengurangi rasa kewalahan. Aku juga mulai berlatih mindfulness, yang membantu aku lebih hadir di momen dan mengurangi kecemasan yang sering mengganggu. Melalui latihan ini, aku belajar untuk lebih menghargai setiap momen dan tidak terburu-buru dalam menjalani hidup.

Refleksi pribadi selama proses ini sangat berharga. Aku menyadari bahwa meskipun ADHD adalah tantangan, itu juga memberi aku perspektif unik tentang kehidupan. Aku belajar menghargai kekuatan aku, seperti kreativitas dan kemampuan berpikir di luar kotak. Proses pengobatan ini bukan hanya tentang ngatasi gejala, tapi juga tentang menerima diri aku apa adanya. Aku mulai nulis jurnal buat mencatat kemajuan dan mengungkapkan perasaan. Nulis jadi cara aku buat melepaskan emosi dan memahami diri lebih baik. Melalui tulisan, aku bisa melihat kembali perjalanan yang telah aku lalui dan bagaimana aku tumbuh dari setiap pengalaman.

Aku juga mulai cari dukungan dari komunitas. Bergabung dengan kelompok dukungan ADHD bikin aku merasa gak sendirian. Denger cerita orang lain yang ngalamin tantangan serupa memberi aku harapan dan kekuatan buat terus berjuang. Aku belajar bahwa berbagi pengalaman adalah langkah penting dalam proses penyembuhan. Dalam kelompok ini, aku menemukan teman-teman yang memahami dan mendukung, dan itu sangat berarti bagiku.

Menatap Masa Depan: Harapan di Tengah Perjuangan

Melihat ke depan, aku pengen kasih dorongan buat siapa pun yang mungkin ngalamin tantangan serupa. Diagnosis ADHD bukan berarti akhir dari segalanya; sebaliknya, itu bisa jadi awal dari perjalanan baru yang penuh harapan. Aku berencana terus berbagi pengalaman lewat artikel-artikel mendatang yang aku labeli sebagai jurnal pribadi. Aku berharap dengan berbagi cerita aku, aku bisa bantu orang lain merasa kurang sendirian dalam perjuangan mereka.

Aku percaya bahwa dengan pemahaman yang lebih baik tentang diri kita sendiri dan dukungan yang tepat, kita bisa ngatasi tantangan yang dihadapi. Mari kita terus berbagi, belajar, dan tumbuh bersama. Harapan ada di depan kita, dan kita gak perlu menghadapinya sendirian. Aku mau tekankan bahwa perjalanan ini bukan tentang mencapai kesempurnaan, tapi tentang menerima diri kita yang sebenarnya dan menemukan cara untuk hidup dengan lebih bermakna. Setiap langkah kecil yang kita ambil menuju pemahaman diri adalah langkah menuju kebebasan dan penerimaan.

Refleksi Akhir: Pelajaran Berharga dari Perjalanan Ini

Dalam perjalanan ini, aku udah belajar banyak tentang diri aku dan bagaimana ADHD mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Aku menyadari bahwa meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, ada juga banyak peluang untuk tumbuh dan berkembang. Aku berharap dengan berbagi pengalaman aku, aku bisa bantu orang lain yang mungkin merasa terjebak dalam kegelapan. Mari kita terus berbagi cerita, saling mendukung, dan menemukan harapan di tengah tantangan. Kita gak sendirian dalam perjalanan ini, dan bersama-sama, kita bisa menemukan cara untuk hidup dengan lebih baik dan lebih bahagia. Dengan saling mendukung, kita bisa menciptakan komunitas yang lebih kuat dan lebih inklusif, di mana setiap orang merasa diterima dan dihargai.

"I'm a digital marketer with a deep love for technology and writing. I've also realized the importance of balancing productivity with self-care, something I explore often in my posts.

Post a Comment